Banyak
referensi mengenai kisah-kisah Santri Pasca mondok di Pesantren, terkadang
ceritanya unik dan bahkan ada yang irrasional.
Diantaranya, mereka yang sering melakukan pelanggaran ketika di pesantren,
ketika keluar dari pesantren berubah menjadi Bos Mafia di lingkungan tertentu,
mereka yang sering ngawulo mbah yai (mengabdi kepada Kyai) kemudian menjadi
orang yang dihormati di masyarakat, orang yang menjalankan warung makan mbah
yai, kemudian menjadi pengusaha sukses di masyarakat, orang yang dahulu menjadi
pengurus pesantren, kemudianmenjadi orang penting di organisasi masyarakat atau
Pemerintahan. Ini artinya: kegiatan yang biasa dilakukan santri semasa di pesantren,biasanya
akan menjadi pengalaman dan pendidikannya ketika terjun dimasyarakat kelak.
Para alumni biasanya melakukan hal-hal yang sama atau bahkan melebihi kegiatan
yang pernah dilakukannya ketika di pesantren sehingga tak jarang ketika mereka
lulus hal-hal tersebut menjadi karakter dan ciri khas santri tersebut kelak.
Maka seyogyanya
seorang santri haruslah membiasakan diri untuk berakhlakul karimah semenjak
dini dengan dorongan uswatun khasanah (contoh yang baik) yang tercermin
dari para asatidz sebagai tonggak terbentuknya pendidikan karakter di pondok
pesantren tersebut, sehingga bi’ah khasanah (kebiasaan baik) tersebar dan
membudaya di kalangan santri dengan sendirinya. Dan betapa indahnya jika tiap
pondok pesantren melakukan hal-hal di atas sehingga ketika para alumnus pondok
pesantren berada di tengah masyarakat, mereka telah terbiasa dengan karakter
khas santri yang berakhlak baik dan mengajarkannya di masyarakat, dengan begitu
sedikit demi sedikit akan dapat merubah karakteristik bangsa ini.
Kebiasaan
santri memang sangat beragam yang tentunya berkutat pada dunia ilmiah, sejak bangun
dari tidur sampai tidur kembali, bahkan dapat dikaitkan dengan hal-hal yang
ilmiah, sebagai contoh guyonan yang mereka tuangkan dalam kamar, sekolah, ruang
makan, bahkan sebelum tidur berasaskan pada hal yang berpendidikan. Maka
pendidikan yang diterapkan ketika masih di pesantren seluruhnya adalah pendidikan
karakter. Sebagai contoh, santri yang biasa mengajarsemasahidup di lingkunganpondokpesantren,
kemudian pulangmakakemampuannya tersebut dapat digunakanuntuk mengajar ketika
kembali ke masyarakat. Begitu juga santri yang mumpuni secara keilmuan dan
menguasai manajemen pesantren, maka hal tersebut dapat dipergunakan untuk mengembangkan
pesantren sendiri dengan mengikuti silabi pembelajaran berdasarkan pengalaman
yang dilihat dan dirasakan ketika masih menjadi santri di pondok pesantren.
Sehingga totalitas pembelajaran hidup sebenarnya telah ada dalam lembaga
pendidikan pesantren pada umumnya, walaupun jika dilihat dari fisik dan
akademik kalangan santri terkesan kolot namun pada hakikatnya mereka memiliki
potensi yang tak kalah baik di banding dengan tamatan sekolah, bahkan banyak
diantara santri dewasa ini telah membekali diri dengan ragam ilmu pengetahuan
yang di ajarkan di sekolah pada umumnya.
Khusus santri-santri
yang memiliki intelegensi yang mumpuni, hendaknya
melanjutkan pendidikannya sesuai minat dan bakatnya. Sebab, tidak semua santri yang belajar di
pesantren akan menjadi kyai/pengasuh pondok pesantren. Perlu di sadari bahwa
keberhasilan santri tidak diukur berdasarkan keberhasilan mereka ketika bisa
menjadi kyai saja, namun keberhasilan itu dinilai dari asas kemanfaatannya bagi
orang lain. Mereka yang bisa mengajarkan ilmu kepada banyak orang sama dengan
berhasil, mereka yang menjadi pengusaha kemudianmenjadi donator bagi anak-anak
yatim maka dapat dikategorikan sebagai orang yang berhasil. Oleh karenanya, pesantren juga harus
dijadikan sebagai agent of change untuk menuju perubahan yang lebih
baik.
Oleh karenanya,
tidak salah jika para santri paska mengenyam pendidikan di pesantrenharuslah
diarahkan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi sesuai minat dan
bakatnya. Sehingga tidak menutup kemungkinan para alumni pesantren yang brilian
tersebut mampu menjadi menjadi pemimpin yang memberi kemanfaatan dan kebaikan
bagi banyak orang. sebagai contoh : santri bisa menjadi guru, penceramah,
hakim, dan lain sebagainya yang bermanfaat bagi orang lain.Itu semua dapat
dicapai tentunya dengan cara melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, dan
landasan dari itu semua berkat pendidikan yang ditanamkan dalam pondok
pesantren yang penuh keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah Islamiyyah dan tentunya
dengan uswatun hasanah dari Kyai dan para asatidznya. Dan pesantren sebagai agent
of change harus mampu memotivasi dan mempersiapkan santri-santrinya agar mampu
beramal sholeh dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat memberi manfaat
dan berguna bagi masyarakat banyak. Sehingga keberhasilan santri tidak hanya
sebagai pendakwah, namun juga dinilai dari kemanfaatannya bagi orang lain;
“Khoirukum
anfa’uhum linnasi.”
Artinya:
Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
Keluarga
sebagai faktor utama penunjang perkembangankarakteristiksantri, juga memiliki peranan yang lebih dominan dalam menjaga dan
mengarahkan santri setelah lulus daripondok pesantren, hal ini dapat dilakukan
dengan cara mengajak santri bermusyawarah untuk menentukan langkah selanjutnya
dalam menapaki dunia yang lebih luas dengan berbagai macam karakter manusianya. Tentu,keluarga haruslah tetap menguatkan karakteristik santri
agar tidak tergerus oleh arus globalisasi yang serba bebas dengan menguatkan
nilai-nilai yang telah di dapat dari pondok pesantren dengan tetap membawa
kebiasaannya selama di pondok kedalam lingkungan keluarga, agar supaya alumnus
santri ini semakin terarah dan dapat menyongsong masa depannya kelak.
Semoga dengan niat
yang baik, apa yang menjadi angan-angan tersebut dapat terealisasikan dan tidak
sebatas utopia belaka, dan tidak dipergunakan untuk kepentingan dan kesenangan
pribadi saja, melainkan dengan niatLillahita’ala dan untuk mempersembahkan
kemanfaatan bagi orang lain.
By Nur M. Huri